Archive

Archive for the ‘Fiqh’ Category

Mengenali Ciri-ciri Lailatul Qadar

Lailatul Qadar

Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al Quran Al Karim yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini (malam Lailatul Qodar/Nuzul Qur’an, red), akan tetapi mereka bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.

Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur’aniyah dan hadits-hadits Nabawiyyah yang shahih yang menjelaskan tentang malam tersebut. Read more…

Categories: Fiqh

Bagaimana Cara Menyambut Ramadhan??

Cara Menyambut Ramadhan Read more…

Categories: Fiqh

Mengobati Demam Dengan Air

Mengobati Demam Dengan Air

Diriwayatkan dalam shahih Bhukari Muslim bahwa Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya demam – atau demam berat – berasal dari uap jahanam, karena itu dinginkanlah dengan air”.
Hadist diatas membuat bingung beberapa dokter yang tidak memahaminya. Mereka mengira hadist tersebut bertentangan dengan metode umum perawatan demam. Kami akan menjelaskan hadist tersebut secara rinci, ditinjau dari sudut pemahaman fiih dan argumentasinya.
Jika Rasulullah mengeluarkan suatu pernyataan, konteksnya ada dua macam. Pertama, pernyataan itu bersifat umum,, yakni ditujukan kepada seluruh umat manusia. Kedua, pernyataan itu bersifat khusus, yakni ditujukan kepada umat dan kondisi yang spesifik. Sebagian besar pernyataan Rasulullah adalah jenis pertama. Mengenai jenis kedua, sama dengan pernyataan Rasulullah, “Janganlah kalian menghadap kiblat saat buang air kecil atau buang air besar, jangan pula membelakanginya, tetapi menghadaplah ke Timur atau ke Barat”. Pernyataan ini bukanlah ditujukan bagi  orang-orang yang bermukim ditimur atau dibarat, juga tidak kepada penduduk Iraq, tetapi ditujukan bagi orang-orang yang bermukim di Madinah dan searah dengan Syam (Suriah). Ini sama dengan sabda Rasulullah, “Apa yang ada diantara Timur dan Barat adalah kiblat”. Read more…
Categories: Fiqh

SIFAT SHOLAT NABI (Muhammad Nashiruddin Al-Albani)

 LATAR BELAKANG PENULISAN

 Saya  tidak  pernah  menemukan  kitab  yang  membahas  seluruh  tema  ini.  Karena  itu  saya berkewajiban untuk menyusun sebuah buku yang mencakup semua yang berkaitan dengan sifat shalat Nabi SAW sejak dari takbir hingga salam untuk ikhwan-ikhwan umat Islam yang selalu berkeinginan meneladaini  petunjuk  Nabinya  dalam  beribadah.  Sehingga  mempermudah  mereka  melaksanakan perintah Rasulullah SAW sebagaimana yang disabdakan ”Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat”

 Atas dasar inilah, saya berusaha keras menelusuri hadits-hadits yang berkaitan dengan tujuan ini di berbagai kitab hadits, yang diantarnya adalah buku yang sedang di tangan anda ini.

 Dalam penulisan buku ini saya telah menetapkan sebuah aturan agar tidak menggunakan hadits- hadits Nabi sebagai dalil kecuali yang sanadnya kuat, sesuai dengan kaidah dan prinsip-prinsip ilmu hadits. Disamping itu saya juga mencapakkan setiap hadits majhul atau dhaif berkenaan dengan tata cara shalat, zikir, keutamaan-keutamaan dan lain sebagainya. Karena saya yakin bahwa setiap hadits yang kuat sudah cukup dari  pada yang dhaif karena yang dhaif itu tidak ada gunanya – tanpa ada perselisihan diatara ahli hadits kecuali hanya prasangka. Sedangkan keyakinan yang bersumber dari prasangka  adalah  sebagaimana  halnya  firman   Alloh  dalam  Qur’an   surat  an-Najm  ayat  28  :

Persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” Juga Rasulullah SAW bersabda

Janganlah sekali-kali berprasangka karena persangkaan itu adalah perkataan yang paling dusta” (HR. Bukhari dan Muslim). Read more…

Categories: Ebook, Fiqh

Hukum Memanjangkan Jenggot

Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,
Innalhamdalillaah, nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh. Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay yiati a’malina, may yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala hadziyalah. Asyhadu alailahaillallahu wa assyhadu anna muhammadan ‘abduhu warosuluh.
Fainna ashdaqal hadits kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu’alaihiwassalam, wa syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar… Ammaba’du

Bismillahirrohmaanirrohim.. Read more…
Categories: Fiqh

Hukum Mengucapkan “Selamat Hari Natal”

Dalam akidah Islam Isa putera Maryam adalah Nabi dan Rasul Allah Ta’ala. Dia bukan anak Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri. Bahkan Allah Ta’ala telah membantah di banyak ayat-Nya bahwa Dia menjadikan Isa sebagai putera-Nya,

وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا

Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.” (QS. al-Jin: 3)

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-An’am: 101)

Allah mengabarkan bahwa Dia Mahakaya tidak butuh kepada yang lainnya. Dia tidak butuh mengangkat seorang anak dari makhluk-Nya.

قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: “Allah mempunyai anak”. Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Yunus: 68)

Sesungguhnya umat Kristiani telah berlaku lancang kepada Allah dengan menuduh-Nya telah mengangkat seorang hamba dan utusan-Nya sebagai anak-Nya yang mewarisi sifat-sifat-Nya. Karena ucapan mereka ini, hamper-hampir langit dan bumi pecah karenanya.

Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak’. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (QS. Maryam: 88-93)

Sesungguhnya umat Kristiani telah berlaku lancang kepada Allah dengan menuduh-Nya telah mengangkat seorang hamba dan utusan-Nya sebagai anak-Nya yang mewarisi sifat-sifat-Nya. Karena ucapan mereka ini, hamper-hampir langit dan bumi pecah karenanya.

Maka tidak mungkin seorang muslim yang mentauhidkan Allah akan ikut serta, mendukung, mengucapkan selamat atasnya, dan bergembira dengan perayaan-perayaan hari raya tersebut yang jelas-jelas menghina Allah dengan terang-terangan. Keyakinan ini membatalkan peribadatan kepada Allah, karena inilah Allah Ta’ala menyifati Ibadurrahman bersih dari semua itu:

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu. . .” (QS. Al Furqaan: 72) Makna al Zuur, adalah hari raya dan hari besar kaum musyrikin sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Ibnu sirin, dan ulama lainnya dari kalangan sahabat dan tabi’in.

Namun di tengah-tengah zaman penuh fitnah ini, prinsip akidah yang sudah tertera sejak 1400 tahun yang lalu mulai digoyang dan dianulir. Atas dalih toleransi umat beragama, menghormati perayaan agama orang lain. Dengan dalih kerukunan antarumat beragama, sebagian umat Islam ikut-ikutan merayakan dan memeriahkan hari besar kufur dan syirik ini. Sebagian mereka dengan suka rela mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir atas hari raya mereka yang berisi kekufuran dan kesyirikan terebut.

Lebih tragis lagi, pembenaran saling mengucapkan selamat atas hari raya antar umat beragama dilontarkan oleh para tokoh intelektual Muslim. Tidak sedikit mereka yang bergelar Profesor dan Doktor.

Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA dalam isi materi yang disampaikannya dalam pengajian ICMI Eropa bekerjasama dengan pengurus Masjid Nasuha di Rotterdam, Belanda, Jumat (17/12/2010), menyimpulkan bahwa mengucapkan selamat Natal oleh seorang muslim hukumnya mubah, dibolehkan. Menurutnya masalah mengucapkan selamat Natal adalah bagian dari mu’amalah, non-ritual. Yang pada prinsipnya semua tindakan non-ritual adalah dibolehkan, kecuali ada nash ayat atau hadits yang melarang. Dan menurut Sofjan, tidak ada satu ayat Al Quran atau hadits pun yang eksplisit melarang mengucapkan selamat atau salam kepada orang non-muslim seperti di hari Natal. (Detiknews.com, Ahad: 19/12/2010)

Prof DR HM Din Syamsuddin MA, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, mengaku terbiasa mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk Kristen.

“Saya tiap tahun memberi ucapan selamat Natal kepada teman-teman Kristiani,” katanya di hadapan ratusan umat Kristiani dalam seminar Wawasan Kebangsaan X BAMAG Jatim di Surabaya (10/10/2005).

Maka tidak mungkin seorang muslim yang mentauhidkan Allah akan ikut serta, mendukung, mengucapkan selamat atasnya, dan bergembira dengan perayaan-perayaan hari raya Natal yang jelas-jelas menghina Allah dengan terang-terangan.

Fatwa Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Utsaimin

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullaahditanya tentang hukum mengucapkan selamat natal kepada orang kafir.

“Apa hukum mengucapkan selamat hari raya Natal kepada orang-orang kafir? Dan bagaimana kita membalas jika mereka mengucapkan Natal kepada kita? Apakah boleh mendatangi tempat-tempat yang menyelenggarakan perayaan ini? Apakah seseorang berdosa jika melakukan salah satu hal tadi tanpa maksud merayakannya? Baik itu sekedar basa-basi atau karena malu atau karena terpaksa atau karena hal lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka dalam hal itu?

Beliau rahimahullaah menjawab dengan tegas, “Mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir dengan ucapan selamat natal atau ucapan-ucapan lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama mereka hukumnya haram sesuai kesepakatan ulama. Sebagaimana kutipan dari Ibnul Qayyim rahimahullaah dalam bukunya Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, beliau menyebutkan:

“Mengucapkan selamat kepada syiar agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan. Seperti mengucapkan selamat atas hari raya dan puasa mereka dengan mengatakan ‘Ied Muharak ‘Alaik (hari raya penuh berkah atas kalian) atau selamat bergembira dengan hari raya ini dan semisalnya. Jika orang yang berkata tadi menerima kekufuran maka hal itu termasuk keharaman, statusnya seperti mengucapkan selamat bersujud kepada salib. Bahkan, di sisi Allah dosanya lebih besar dan lebih dimurkai daripada mengucapkan selamat meminum arak, selamat membunuh, berzina, dan semisalnya. Banyak orang yang tidak paham Islam terjerumus kedalamnya semantara dia tidak tahu keburukan yang telah dilakukannya. Siapa yang mengucapkan selamat kepada seseorang karena maksiatnya, kebid’ahannya, dan kekufurannya berarti dia menantang kemurkaan Allah.”Demikian ungkapan beliaurahimahullaah.

Haramnya mengucapkan selamat kepada kaum kuffar atas hari raya agama mereka, sebagaimana dipaparkan oleh Ibnul Qayyim, karena di dalamnya terdapat pengakuan atas syi’ar-syi’ar kekufuran dan ridla terhadapnya walaupun dia sendiri tidak ridha kekufuran itu bagi dirinya. Kendati demikian, bagi seorang muslim diharamkan ridha terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat dengan syi’ar tersebut  kepada orang lain, karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak ridha terhadap semua itu, sebagaimana firman-Nya,

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Al-Zumar: 7)

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3) dan mengucapkan selamat kepada mereka dengan semua itu adalah haram, baik ikut serta di dalamnya ataupun tidak.”

Mengucapkan selamat kepada syiar agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan.

Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka kepada kita, hendaknya kita tidak menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita dan Allah Ta’ala tidak meridhai hari raya tersebut, baik itu merupakan bid’ah atau memang ditetapkan dalam agama mereka. Namun sesungguhnya itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam yang dengannya Allah telah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallamkepada seluruh makhluk. Allah telah berfirman tentang agama Islam,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85).

Seorang muslim haram memenuhi undangan mereka dalam perayaan ini, karena ini lebih besar dari mengucapkan selamat kepada mereka, karena dalam hal itu berarti ikut serta dalam perayaan mereka. Juga diharamkan bagi kaum muslimin untuk menyamai kaum kuffar dengan mengadakan pesta-pesta dalam momentum tersebut atau saling bertukar hadiah, membagikan permen, parsel, meliburkan kerja dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Ibnu Hibban)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah dalam bukunyaIqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim Mukhalafah Ashab al-Jahimmenyebutkan, “Menyerupai mereka dalam sebagian hari raya milik mereka menumbuhkan rasa senang pada hati mereka (kaum muslimin) terhadap keyakinan batil mereka. Dan bisa jadi memberi makan pada mereka dalam kesempatan itu dan menaklukan kaum lemah.” Demikian ucapan beliaurahimahullah.

Dan barangsiapa melakukan di antara hal-hal tadi, maka ia berdosa, baik ia melakukannya sekedar basa-basi atau karena mencintai, karena malu atau sebab lainnya. Karena perbuatan tersebut termasuk bentuk mudahanan (penyepelan) terhadap agama Allah dan bisa menyebabkan teguhnya jiwa kaum kuffar dan membanggakan agama mereka. (Al-Majmu’ Ats-Tsamin, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 3 diunduh dari situs islamway.com) [Badrul Tamam/PurWD/voa-islam.com]

Perbedaan Pendapat tentang Mengucapkan Selamat Natal

Diantara tema yang mengandung perdebatan setiap tahunnya adalah ucapan selamat Hari Natal. Para ulama kontemporer berbeda pendapat didalam penentuan hukum fiqihnya antara yang mendukung ucapan selamat dengan yang menentangnya. Kedua kelompok ini bersandar kepada sejumlah dalil.

Meskipun pengucapan selamat hari natal ini sebagiannya masuk didalam wilayah aqidah namun ia memiliki hukum fiqih yang bersandar kepada pemahaman yang mendalam, penelaahan yang rinci terhadap berbagai nash-nash syar’i.

Ada dua pendapat didalam permasalahan ini :

1. Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu Utsaimin—semoga Allah merahmati mereka—serta yang lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad al Huqoil berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Natal hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka. Allah tidak meredhoi adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya didalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan ini diharamkan.

Diantara bentuk-bentuk tasyabbuh :
1. Ikut serta didalam hari raya tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke neger-negeri islam.

Mereka juga berpendapat wajib menjauhi berbagai perayaan orang-orang kafir, menjauhi dari sikap menyerupai perbuatan-perbuatan mereka, menjauhi berbagai sarana yang digunakan untuk menghadiri perayaan tersebut, tidak menolong seorang muslim didalam menyerupai perayaan hari raya mereka, tidak mengucapkan selamat atas hari raya mereka serta menjauhi penggunaan berbagai nama dan istilah khusus didalam ibadah mereka.

2. Jumhur ulama kontemporer membolehkan mengucapkan selamat Hari Natal.

Di antaranya Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk didalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah swt namun dicintai-Nya sebagaimana Dia swt mencintai berbuat adil. Firman Allah swt :

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya :
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Terlebih lagi jika mereka mengucapkan selamat Hari Raya kepada kaum muslimin. Firman Allah swt :

وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا ﴿٨٦﴾

Artinya : “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An Nisaa : 86)

Lembaga Riset dan Fatwa Eropa juga membolehkan pengucapan selamat ini jika mereka bukan termasuk orang-orang yang memerangi kaum muslimin khususnya dalam keadaan dimana kaum muslimin minoritas seperti di Barat. Setelah memaparkan berbagai dalil, Lembaga ini memberikan kesimpulan sebagai berikut : Tidak dilarang bagi seorang muslim atau Markaz Islam memberikan selamat atas perayaan ini, baik dengan lisan maupun pengiriman kartu ucapan yang tidak menampilkan simbol mereka atau berbagai ungkapan keagamaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam seperti salib. Sesungguhnya Islam menafikan fikroh salib, firman-Nya :

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِن شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا ﴿١٥٧﴾

Artinya : “Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS. An Nisaa : 157)

Kalimat-kalimat yang digunakan dalam pemberian selamat ini pun harus yang tidak mengandung pengukuhan atas agama mereka atau ridho dengannya. Adapun kalimat yang digunakan adalah kalimat pertemanan yang sudah dikenal dimasyarakat.

Tidak dilarang untuk menerima berbagai hadiah dari mereka karena sesungguhnya Nabi saw telah menerima berbagai hadiah dari non muslim seperti al Muqouqis Pemimpin al Qibthi di Mesir dan juga yang lainnya dengan persyaratan bahwa hadiah itu bukanlah yang diharamkan oleh kaum muslimin seperti khomer, daging babi dan lainnya.

Diantara para ulama yang membolehkan adalah DR. Abdus Sattar Fathullah Sa’id, ustadz bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al Qur’an di Universitas Al Azhar, DR. Muhammad Sayyid Dasuki, ustadz Syari’ah di Univrsitas Qatar, Ustadz Musthafa az Zarqo serta Syeikh Muhammad Rasyd Ridho. (www.islamonline.net)

Adapun MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1981 sebelum mengeluarkan fatwanya, terlebih dahulu mengemukakan dasar-dasar ajaran Islam dengan disertai berbagai dalil baik dari Al Qur’an maupun Hadits Nabi saw sebagai berikut :

A) Bahwa ummat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan ummat agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan.

B) Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampur-adukkan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain.

C) Bahwa ummat Islam harus mengakui ke-Nabian dan ke-Rasulan Isa Almasih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain.

D) Bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai anak dan Isa Almasih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik.

E) Bahwa Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakah dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya agar mereka mengakui Isa dan Ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab: Tidak.

F) Islam mengajarkan bahwa Allah SWT itu hanya satu.

G) Islam mengajarkan ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan.

Juga berdasarkan Kaidah Ushul Fikih
”Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan mushalihnya tidak dihasilkan)”.
Untuk kemudian MUI mengeluarkan fatwanya berisi :

1. Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa as, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
2. Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
3. Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu Wata’ala dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.

Mengucapkan Selamat Hari Natal Haram kecuali Darurat

Diantara dalil yang digunakan para ulama yang membolehkan mengucapkan Selamat Hari Natal adalah firman Allah swt :

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾

Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah : 8)

Ayat ini merupakan rukhshoh (keringanan) dari Allah swt untuk membina hubungan dengan orang-orang yang tidak memusuhi kaum mukminin dan tidak memerangi mereka. Ibnu Zaid mengatakan bahwa hal itu adalah pada awal-awal islam yaitu untuk menghindar dan meninggalkan perintah berperang kemudian di-mansukh (dihapus).

Qatadhah mengatakan bahwa ayat ini dihapus dengan firman Allah swt :

….فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ  ﴿٥﴾

Artinya : “Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS. At Taubah : 5)

Adapula yang menyebutkan bahwa hukum ini dikarenakan satu sebab yaitu perdamaian. Ketika perdamaian hilang dengan futuh Mekah maka hukum didalam ayat ini di-mansukh (dihapus) dan yang tinggal hanya tulisannya untuk dibaca. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini khusus untuk para sekutu Nabi saw dan orang-orang yang terikat perjanjian dengan Nabi saw dan tidak memutuskannya, demikian dikatakan al Hasan.

Al Kalibi mengatakan bahwa mereka adalah Khuza’ah, Banil Harits bin Abdi Manaf, demikian pula dikatakan oleh Abu Sholeh. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah Khuza’ah.

Mujahid mengatakan bahwa ayat ini dikhususkan terhadap orang-orang beriman yang tidak berhijrah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud didalam ayat ini adalah kaum wanita dan anak-anak dikarenakan mereka tidak ikut memerangi, maka Allah swt mengizinkan untuk berbuat baik kepada mereka, demikianlah disebutkan oleh sebagian ahli tafsir… (al Jami’ li Ahkamil Qur’an juz IX hal 311)

Dari pemaparan yang dsebutkan Imam Qurthubi diatas maka ayat ini tidak bisa diperlakukan secara umum tetapi dikhususkan untuk orang-orang yang terikat perjanjian dengan Rasulullah saw selama mereka tidak memutuskannya (ahli dzimmah).

Hak-hak dan kewajiban-kewajiban kafir dzimmi adalah sama persis dengan kaum muslimin di suatu negara islam. Mereka semua berada dibawah kontrol penuh dari pemerintahan islam sehingga setiap kali mereka melakukan tindakan kriminal, kejahatan atau melanggar perjanjian maka langsung mendapatkan sangsi dari pemerintah.

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Janganlah kamu memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang diantara mereka di jalan maka sempitkanlah jalannya.” (HR. Muslim)

Yang dimaksud dengan sempitkan jalan mereka adalah jangan biarkan seorang dzimmi berada ditengah jalan akan tetapi jadikan dia agar berada ditempat yang paling sempit apabila kaum muslimin ikut berjalan bersamanya. Namun apabila jalan itu tidak ramai maka tidak ada halangan baginya. Mereka mengatakan : “Akan tetapi penyempitan di sini jangan sampai menyebabkan orang itu terdorong ke jurang, terbentur dinding atau yang sejenisnya.” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XIV hal 211)

Hadits “menyempitkan jalan” itu menunjukkan bahwa seorang muslim harus bisa menjaga izzahnya dihadapan orang-orang non muslim tanpa pernah mau merendahkannya apalagi direndahkan. Namun demikian dalam menampilkan izzah tersebut janganlah sampai menzhalimi mereka sehingga mereka jatuh ke jurang atau terbentur dinding karena jika ini terjadi maka ia akan mendapatkan sangsi.

Disebutkan didalam sejarah bahwa Umar bin Khottob pernah mengadili Gubernur Mesir Amr bin Ash karena perlakuan anaknya yang memukul seorang Nasrani Qibti dalam suatu permainan. Hakim Syuraih pernah memenangkan seorang Yahudi terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib dalam kasus beju besinya.

Sedangkan pada zaman ini, orang-orang non muslim tidaklah berada dibawah suatu pemerintahan islam yang terus mengawasinya dan bisa memberikan sangsi tegas ketika mereka melakukan pelanggaran kemanusiaan, pelecehan maupun tindakan kriminal terhadap seseorang muslim ataupun umat islam.

Keadaan justru sebaliknya, orang-orang non muslim tampak mendominanasi di berbagai aspek kehidupan manusia baik pilitik, ekonomi, budaya maupun militer. Tidak jarang dikarenakan dominasi ini, mereka melakukan berbagai penghinaan atau pelecehan terhadap simbol-simbol islam sementara si pelakunya tidak pernah mendapatkan sangsi yang tegas dari pemerintahan setempat, terutama di daerah-daerah atau negara-negara yang minoritas kaum muslimin.

Bukan berarti dalam kondisi dimana orang-orang non muslim begitu dominan kemudian kaum muslimin harus kehilangan izzahnya dan larut bersama mereka, mengikuti atau mengakui ajaran-ajaran agama mereka. Seorang muslim harus tetap bisa mempertahankan ciri khas keislamannya dihadapan berbagai ciri khas yang bukan islam didalam kondisi bagaimanapun.

Tentunya diantara mereka—orang-orang non muslim—ada yang berbuat baik kepada kaum muslimin dan tidak menyakitinya maka terhadap mereka setiap muslim diharuskan membalasnya dengan perbuatan baik pula.

Al Qur’an maupun Sunah banyak menganjurkan kaum muslimin untuk senantiasa berbuat baik kepada semua orang baik terhadap sesama muslim maupun non muslim, diantaranya : surat al Mumtahanah ayat 8 diatas. Sabda Rasulullah saw,”Sayangilah orang yang ada di bumi maka yang ada di langit akan menyayangimu.” (HR. Thabrani) Juga sabdanya saw,”Barangsiapa yang menyakiti seorang dzimmi maka aku akan menjadi lawannya di hari kiamat.” (HR. Muslim)

Perbuatan baik kepada mereka bukan berarti harus masuk kedalam prinsip-prinsip agama mereka (aqidah) karena batasan didalam hal ini sudah sangat jelas dan tegas digariskan oleh Allah swt :

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾

Artinya : “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafirun : 6)

Hari Natal adalah bagian dari prinsip-prinsip agama Nasrani, mereka meyakini bahwa di hari inilah Yesus Kristus dilahirkan. Didalam bahasa Inggris disebut dengan Christmas, Christ berarti Kristus sedangkan Mass berarti masa atau kumpulan jadi bahwa pada hari itu banyak orang berkumpul mengingat / merayakan hari kelahiran Kristus. Dan Kristus menurut keyakinan mereka adalah Allah yang mejelma.

Berbuat kebaikan kepada mereka dalam hal ini adalah bukan dengan ikut memberikan selamat Hari Natal dikarenakan alasan diatas akan tetapi dengan tidak mengganggu mereka didalam merayakannya (aspek sosial).

Pemberian ucapan selamat Natal baik dengan lisan, telepon, sms, email ataupun pengiriman kartu berarti sudah memberikan pengakuan terhadap agama mereka dan rela dengan prinsip-prinsip agama mereka. Hal ini dilarang oleh Allah swt dalam firman-Nya,

إِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ ﴿٧﴾

Artinya : “Jika kamu kafir Maka Sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar : 7)

Jadi pemberian ucapan Selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani baik ia adalah kerabat, teman dekat, tetangga, teman kantor, teman sekolah dan lainnya adalah haram hukumnya, sebagaimana pendapat kelompok pertama (Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibn Baaz dan lainnya) dan juga fatwa MUI.

Namun demikian setiap muslim yang berada diantara lingkungan mayoritas orang-orang Nasrani, seperti muslim yang tempat tinggalnya diantara rumah-rumah orang Nasrani, pegawai yang bekerja dengan orang Nasrani, seorang siswa di sekolah Nasrani, seorang pebisnis muslim yang sangat tergantung dengan pebisinis Nasrani atau kaum muslimin yang berada di daerah-daerah atau negeri-negeri non muslim maka boleh memberikan ucapan selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya tersebut disebabkan keterpaksaan. Ucapan selamat yang keluar darinya pun harus tidak dibarengi dengan keredhoan didalam hatinya serta diharuskan baginya untuk beristighfar dan bertaubat.

Diantara kondisi terpaksa misalnya; jika seorang pegawai muslim tidak mengucapkan Selamat Hari Natal kepada boss atau atasannya maka ia akan dipecat, karirnya dihambat, dikurangi hak-haknya. Atau seorang siswa muslim apabila tidak memberikan ucapan Selamat Natal kepada Gurunya maka kemungkinan ia akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di suatu daerah atau negara non muslim apabila tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada para tetangga Nasrani di sekitarnya akan mendapatkan tekanan sosial dan lain sebagainya.

مَن كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١٠٦﴾

Artinya : “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An Nahl : 106)

Adapun apabila keadaan atau kondisi sekitarnya tidaklah memaksa atau mendesaknya dan tidak ada pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak atau perlakuan orang-orang Nasrani sekelilingnya terhadap diri dan keluarganya maka tidak diperbolehkan baginya mengucapkan Selamat Hari Natal kepada mereka.

Ust. Sigit Prabowo, Lc /eramuslim

Categories: Fiqh

Hitam di Dahi Tanda Niat Tidak Suci

oleh : Pahlawan Bertopi

“Bagaimana cara menyamarkan/menghilangkan noda hitam di kening/di jidat karena sewaktu sujud dalam shalat terlalu menghujam sehingga ada bekas warna hitam?” 0281764xxxx

Jawab:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

Yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS al Fath:29).

Banyak orang yang salah paham dengan maksud ayat ini. Ada yang mengira bahwa dahi yang hitam karena sujud itulah yang dimaksudkan dengan ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tanda mereka…” adalah perilaku yang baik. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang dimaksudkan adalah kekhusyuan. Juga diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat” (Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546). Read more…

Categories: Fiqh